Senin, 12 September 2016

Alasan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)


Sumber foto http://telko.id/phk/


Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan suatu kondisi yang amat dihindari, khususnya bagi pihak pekerja/buruh.

Pasalnya PHK akan berdampak langsung berupa hilangnya sumber penghasilan pekerja/buruh yang mana penghasilan tersebut digunakan untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari.

Di sisi pemberi kerja, PHK merupakan suatu pilihan yang dimiliki oleh pemberi kerja untuk memutus hubungan kerja dengan pekerja/buruh atas suatu alasan yang cukup agar kepentingannya dalam menjalani usaha tetap berlangsung sesuai dengan proporsi dan harapan yang diinginkan.

Guna menghindari dilakukannya PHK yang sewenang-wenang dari pihak pemberi kerja, telah tersedia peraturan yang membatasi tindakan tersebut, yaitu UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan).

Dalam hal keputusan PHK tidak dapat dihindari lagi, terdapat hak-hak yang dimiliki oleh pekerja/buruh yang harus diberikan oleh pemberi kerja. Hal mana hak-hak tersebut bergantung dengan alasan yang dijadikan dasar PHK.

Berikut telah saya rangkum alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar sebagai keputusan PHK disertai dengan hak-hak yang dimiliki pekerja atas PHK tersebut. Memang tidak sepenuhnya PHK tersebut diinisiasi oleh pemberi kerja (bisa juga PHK diinisiasi oleh pekerja/buruh itu sendiru), namun dari seluruh alasan PHK yang ada, sebagian besar memang bersumber dari inisiasi pemberi kerja.

Silahkan download dokumen berikut “Alasan PHK” untuk dapat memudahkan memahami hal-hal yang dapat menjadi alasan PHK berikut dengan hak-hak yang seharusnya didapat dari keputusan PHK tersebut.

Rangkuman tersebut telah disesuaikan dengan beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi (Putusan MK) yang telah menggugurkan dan/atau menafsirkan beberapa ketentuan di dalam UU Ketenagakerjaan terkait dengan alasan PHK.


Sumber:


Segala kritik, saran, pendapat, maupun pertanyaan silahkan disampaikan melalui email: ardy.wirawan92@gmail.com

Jumat, 09 September 2016

Pembatasan Lalu Lintas Ganjil-Genap di DKI Jakarta

Sumber foto http://www.aktual.com/


Permasalahan kemacetan di DKI Jakarta sudah semakin mengkhawatirkan. Kerugian yang timbul akibat kemacetan tersebut juga sangat besar nilainya. Misalnya saja akibat kendaraan yang harus stop and go pada kondisi macet menyebabkan konsumsi bahan menjadi lebih tinggi dibandingkan berjalan pada kondisi yang normal. Selain itu juga banyak kegiatan ekonomi gagal dilakukan atau setidaknya berkurang kualitasnya karena ketepatan waktu yang tidak terwujud disebabkan oleh kemacetan.

Berbagai kebijakan Pemerintah DKI Jakarta sudah diberlakukan guna menyikapi permasalahan di atas, contohnya pembuatan sistem Bus Transjakarta berikut dengan perluasan pelayanan yang terus dilakukan, pembatasan kendaraan dengan sistem three in one yang artinya pada ruas jalan tertentu dan pada jam tertentu di dalam satu mobil paling tidak harus mengangkut 3 orang, dan berbagai kebijakan lainnya. Kendati sudah dilakukan berbagai kebijakan dengan tujuan mengurangi tingkat kemacetan di DKI Jakarta, namun permasalahan kemacetan masih terjadi dan masih berada pada tingkat yang mengkhawatirkan.

Pemerintah DKI Jakarta dalam kegiatannya membuat kebijakan dalam rangka mengurangi kemacetan di DKI Jakarta, selain membuat kebijakan-kebijakan yang bersifat baru, juga senantiasa melakukan evaluasi terhadap kebijakan-kebijakan yang telah ada. Salah satunya yang baru saja diberlakukan di DKI Jakarta adalah berupa kebijakan pelarangan kendaraan berdasarkan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) atau yang biasa dikenal dengan plat nomor polisi kendaraan (Nopol).

Kebijakan pembatasan kendaraan berasarkan Nopol (Pembatasan Ganjil-Genap) ini merupakan pengganti dari kebijakan yang telah diberlakukan sebelumnya yaitu sistem three in one.  Sistem three in one ternyata terbukti tidak efektif mengurangi tingkat kemacetan, justru di lain sisi menimbulkan masalah baru. Misalnya bermunculan praktik joki yang membantu para pengendara untuk memenuhi syarat three in one tadi. Lebih parahnya lagi, tidak sedikit ditemukan bahwa yang bekerja menjadi joki ini adalah anak-anak yang seharusnya pada jam-jam tersebut mereka sedang bersekolah.

Berdasarkan berbagai pertimbangan, Pemerintah DKI Jakarta kemudian mengubah sistem three in one menjadi Pembatasan Ganjil-Genap. Adapun Pembatasan Ganjil-Genap tersebut merupakan suatu kebijakan transisi menuju kebijakan yang dinamakan Electronic Road Pricing (ERP) atau sistem jalan berbayar elektronik. Namun dalam rangka mempersiapkan sarana dan prasarana kebijakan ERP tersebut, agar tidak hanya bersifat menunggu, digunakanlah formulasi Pembatasan Ganjil-Genap ini.

Berikut beberapa poin informasi terkait dengan Pembatasan Ganjil-Genap:

1. Jadwal Pelaksanaan

a. Sosialisasi       : 28 Juni s.d. 26 Juli 2016
b. Ujicoba            : 27 Juli s.d. 26 Agustus 2016
c. Pemberlakuan : Efektif berlaku mulai 30 Agustus 2016

2. Dasar Hukum Pelaksanaan

Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 164 Tahun 2016 tentang Pembatasan Lalu Lintas dengan Sistem Ganjil-Genap

3. Waktu Pemberlakuan

a. Hari Senin s.d. Jumat
b. Hari Sabtu, Minggu, dan hari libur Nasional yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden tidak diberlakukan Pembatasan Ganjil-Genap
c. Pukul 07.00 – 10.00 WIB dan 16.00 – 20.00 WIB


4. Wilayah Penerapan

a. Jl. Sisingamangaraja;
b. Jl. Jenderal Sudirman;
c. Jl. M.H. Thamrin;
d. Jl. Medan Merdeka Barat;
e. Sebagian Jl. Jenderal Gatot Subroto antara persimpangan Jalan Gatot Subroto mulai dari Gerbang Pemuda s.d. persimpangan Jl. H.R. Rasuna Said pada jalur jalan umum bukan tol.   


Sistem Pengaturan Pembatasan Ganjil-Genap ini hanya memperbolehkan kendaraan melintas pada ruas jalan yang ditentukan dengan Nopol yang angka terakhirnya adalah angka genap pada tanggal yang merupakan angka genap, begitu pula sebaliknya. Misalnya Nopol B 6134 BRW, B 1436 TCG, B 126 PST, dan B 5248 CG, oleh karena angka terakhirnya adalah angka-angka genap, maka kendaraan tersebut hanya boleh melintas pada jalur-jalur yang ditentukan pada tanggal-tanggal yang angkanya genap pula. Kemudian misalnya Nopol B 3147 NFS, B 213 TKW, B 9743 BTK, dan B 4139 KL, oleh karena angka terakhirnya adalah angka-angka ganjil, maka kendaraan tersebut hanya boleh melintas pada jalur-jalur yang ditentukan pada tanggal-tanggal yang angkanya ganjil saja.

Penerapan Pembatasan Ganjil-Genap tidak diberlakukan kepada seluruh jenis kendaraan bermotor. Berikut ini beberapa jenis kendaraan yang tidak terkena Pembatasan Ganjil-Genap:
a. Kendaraan Pimpinan Lembaga Negara Republik Indonesia, yakni:
1. Presiden/Wakil Presiden;
2. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat/Dewan Permusyawaratan Rakyat/Dewan Perwakilan Daerah; dan
3. Ketua Mahkamah Agung/Mahkamah Konstitusi/Komisi Yudisial.
b. Kendaraan Pimpinan dan Pejabat Negara Asing serta Lembaga Internasional;
c. Kendaraan dinas berplat dinas;
d. Kendaraan pemadam kebakaran;
e. Kendaraan ambulans;
f.  Kendaraan angkutan umum dengan plat berwarna kuning;
g. Kendaraan angkutan barang;
h. Sepeda motor;
i.  Kendaraan untuk kepentingan tertentu.

Khusus untuk jenis kendaraan huruf g dan h, pemberlakukan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 164 Tahun 2016 tentang Pembatasan Lalu Lintas dengan Sistem Ganjil-Genap (Pergub Ganjil-Genap) dilakukan paralel dengan peraturan perundang-undangan lainnya, misalnya pada ruas tertentu dan pada ruas jalan tertentu dan pada jam tertentu angkutan barang dilarang melintas, begitu pula bagi pengendara sepeda motor, untuk ruas jalan tertentu yang memang tidak diperbolehkan melintas, tetap tidak diperbolehkan melintas jalan tersebut.

Konsep sanksi bagi para pelanggar ketentuan sistem Pembatasan Ganjil-Genap ini ditentukan dengan mengacu kepada 2 peraturan perundang-undangan, yaitu Pergub Ganjil-Genap dan UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU Lalu Lintas), yaitu dengan ketentuan sebagai berikut:

Pasal 6 Pergub Ganjil-Genap:
Pada ruas jalan yang menuju kawasan pembatasan lalu lintas dengan sistem ganjil-genap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, dipasang rambu lalu lintas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 8 Pergub Ganjil-Genap:
Pelanggaran terhadap pelaksanaan kawasan pembatasan lalu lintas dengan sistem ganjil-genap dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 287 ayat (1) UU Lalu Lintas:
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf a atau Marka Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,- (lima ratus ribu Rupiah).

Pasal 6 Pergub Ganjil-Genap menyatakan bahwa implementasi Pembatasan Ganjil-Genap dilakukan dengan membuat suatu rambu lalu lintas yang menerangkan hal sebagaimana dimaksud oleh sistem Pembatasan Ganjil-Genap ini, maka terhadap pengendara yang terbukti melakukan pelanggaran atas rambu lalu lintas ini akan otomatis melanggar Pasal 287 ayat (1) UU Lalu Lintas yang ancaman hukuman maksimalnya adalah kurungan badan selama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,- (lima ratus ribu Rupiah). 

Demikian uraian terkait dengan Pembatasan Ganjil-Genap yang belum lama diberlakukan di DKI Jakarta. Beberapa pihak tentu ada yang menerima dan menolak kebijakan Pemerintah DKI Jakarta dalam penentuan kebijakan Pembatasan Ganjil-Genap ini. Namun satu hal yang pasti bahwa seluruh pihak tentu berharap bahwa permasalahan kemacetan di DKI Jakarta akan segera teratasi dengan baik.


Sumber:


Segala kritik, saran, pendapat, maupun pertanyaan silahkan disampaikan melalui email: ardy.wirawan92@gmail.com

Rabu, 07 September 2016

Praperadilan

Setiap manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, memiliki harkat dan martabat yang harus dijunjung tinggi dan dihormati. Hal tersebut sejalan dengan amanat Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut “UUD 1945”), yang berbunyi:

Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Bertalian dengan landasan tersebut, terdapat juga asas yang sangat mendasar dalam ilmu hukum yaitu presumption of innocent atau biasa diartikan ke dalam Bahasa Indonesia dengan istilah asas praduga tidak bersalah. Maksud dari asas ini adalah bahwa setiap orang tidak boleh dianggap bersalah melakukan suatu tindak pidana sebelum ada suatu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Misalnya, walaupun seseorang oleh karena suatu rangkaian penyelidikan dan penyidikan telah ditetapkan sebagai tersangka, terhadap orang tersebut tidak boleh dianggap bahwa ia adalah orang yang bertanggungjawab terhadap persangkaan tindak pidana yang ditujukan kepadanya, sebelum adanya suatu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Begitu pula apabila dalam hal seseorang yang berdasarkan sistem hukum acara pidana telah ditetapkan sebagai terdakwa, berlaku pula asas praduga tidak bersalah terhadapnya.

Perlindungan hak asasi setiap manusia dijamin oleh beberapa pasal di dalam UUD 1945. Dengan demikian para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya harus sangat berhati-hati. Berhati-hati di sini maksudnya adalah para penegak hukum harus melaksanakan tugasnya dengan menyandarkan kegiatannya tersebut kepada peraturan perundang-undangan. Lebih spesifik adalah dengan mengacu kepada Undang-Undang (selanjutnya disebut “UU”). Beberapa pasal di dalam UUD 1945 yang mengatur mengenai hal tersebut, antara lain:

Pasal 28D ayat (1): 
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Pasal 28I ayat (5):
Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 28J ayat (2): 
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Beberapa pasal di dalam UUD 1945 tersebut di atas menggambarkan bahwa Negara dalam hal ini melalui produk-produk hukumnya bermaksud untuk melindungi hak bagi para rakyatnya. Sehingga Negara tidak dapat dengan atas nama kekuasaannya untuk bertindak sewenang-wenang kepada para rakyatnya.

Praperadilan merupakan suatu instrumen di dalam rangkaian hukum acara pidana yang berfungsi sebagai upaya evaluasi terhadap penggunaan kewenangan oleh para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya (dalam hal ini adalah Kepolisian dan/atau Kejaksaan).  

Pasal 1 angka 10 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya “Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP”), menyebutkan:
Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini, tentang:
a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan.

Berdasarkan pasal tersebut di atas, didapatkan beberapa kewenangan Praperadilan yang diatur oleh KUHAP, yaitu:
1. Memeriksa sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan;
2. Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
3. Menetapkan ganti kerugian atau rehabilitasi yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan.


Praperadilan diatur di dalam KUHAP pada Pasal 77 sampai dengan Pasal 83. Selain itu di luar KUHAP, peraturan terkait Praperadilan juga terdapat di dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut “UU Kekuasaan Kehakiman”) pada Pasal 9 ayat (1), (2), dan (3), yaitu:

(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.

(2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi, dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam undang-undang.

Sebagaimana ilmu pengetahuan pada umumnya, ilmu hukum berikut dengan praktiknya senantiasa berkembang di dalam masyarakat. Perkembangan tersebut juga menyentuh konsep Praperadilan yang berlaku dan mengikat masyarakat di Indonesia.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut “MK”) No. 21/PUU-XII/2014 yang diucapkan dalam Sidang Pleno MK terbuka untuk umum pada tanggal 28 April 2015. Telah diubah beberapa ketentuan mengenai Praperadilan yang diatur di dalam KUHAP, yaitu:
1. Mengubah frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, sehingga selanjutnya harus dimaknai “minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP”.
2. Menyatakan Pasal 77 huruf a KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

Mengacu kepada Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 tersebut, maka dengan begitu kewenangan Praperadilan yang diatur di dalam KUHAP menjadi sebagai berikut:
1. Memeriksa sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan;
2. Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
3. Menetapkan ganti kerugian atau rehabilitasi yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan.

Dalil pemohon pada Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 tersebut, pada prinsipnya adalah penjabaran yang cukup luas mengenai pentingnya melindungi hak asasi yang dimiliki setiap manusia yang salah satu upaya pengejawantahannya adalah melalui proses legislasi atau pembentukan peraturan perundang-undangan.

Hasil dari Praperadilan adalah putusan hakim yang menentukan dalil pemohon Praperadilan dapat diterima atau tidak dan memberikan keputusan atas dalil tersebut. Adapun KUHAP telah membatasi bahwa dalam memeriksa permohonan Praperadilan tersebut dalam kurun waktu paling lambat 7 (tujuh) hari (vide Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP), hakim harus sudah menjatuhkan putusannya apakah permohonan Praperadilan dikabulkan atau ditolak.

Putusan Praperadilan pada suatu tingkat tertentu, tidak menutup kemungkinan untuk diajukan lagi permohonan Praperadilan pada tingkatan lainnya. Misalnya apabila seorang tersangka tindak pidana sudah mengajukan permohonan Praperadilan atas penetapan dirinya sebagai tersangka pada tingkat penyidikan, namun permohonan tersebut ditolak. Ia dapat mengajukan lagi permohonan Praperadilan atas perintah penahanan lanjutan pada tahap penuntutan. Hal yang demikian diatur di dalam Pasal 82 ayat (1) huruf e KUHAP. 


Perkembangan pengaturan mengenai Praperadilan ini juga menyangkut mengenai akibat dari putusan Praperadilan. Jika sebelumnya terhadap putusan Praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan permohonan banding kepada Pengadilan Tinggi. Namun dengan adanya Putusan MK No. 65/PUU-IX/2011 yang diucapkan dalam Sidang Pleno MK terbuka untuk umum pada tanggal 01 Mei 2012 menyatakan bahwa Pasal 83 ayat (2) KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dengan demikian apabila suatu putusan Praperadilan menetapkan bahwa suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dilaksanakan dengan tidak sah, maka terdapat putusan Praperadilan tersebut tidak dapat dimintakan banding kepada Pengadilan Tinggi. Artinya terhadap putusan Praperadilan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.

Hal lain yang cukup penting terkait dengan proses Praperadilan adalah apabila pemeriksaan atas permohonan Praperadilan sedang dijalankan, namun pemeriksaan atas perkara (perkara pokoknya) tersebut sudah dimulai, maka terhadap permohonan Praperadilan tersebut akan gugur, sebagaimana diatur di dalam Padal 82 ayat (1) huruf d:
Dalam hal suatu perkara sudah dimulai. Diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada Praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.


Berdasarkan uraian tersebut di atas, Praperadilan diharapkan dapat menjadi penyeimbang bagi kepentingan pihak yang dikenakan upaya paksa oleh karena suatu proses hukum. Sehingga tidak serta merta orang tersebut kehilangan hak-hak yang dijamin oleh peraturan perundang-undangan. Sesungguhnya hal itu merupakan salah satu bentuk tujuan hukum yaitu keadilan dan kepastian hukum.


Sumber:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana);
3. UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
4. Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014
5. Putusan MK No. 65/PUU-IX/2011

Segala kritik, saran, pendapat, maupun pertanyaan silahkan disampaikan melalui email: ardy.wirawan92@gmail.com