Rabu, 07 September 2016

Praperadilan

Setiap manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, memiliki harkat dan martabat yang harus dijunjung tinggi dan dihormati. Hal tersebut sejalan dengan amanat Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut “UUD 1945”), yang berbunyi:

Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Bertalian dengan landasan tersebut, terdapat juga asas yang sangat mendasar dalam ilmu hukum yaitu presumption of innocent atau biasa diartikan ke dalam Bahasa Indonesia dengan istilah asas praduga tidak bersalah. Maksud dari asas ini adalah bahwa setiap orang tidak boleh dianggap bersalah melakukan suatu tindak pidana sebelum ada suatu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Misalnya, walaupun seseorang oleh karena suatu rangkaian penyelidikan dan penyidikan telah ditetapkan sebagai tersangka, terhadap orang tersebut tidak boleh dianggap bahwa ia adalah orang yang bertanggungjawab terhadap persangkaan tindak pidana yang ditujukan kepadanya, sebelum adanya suatu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Begitu pula apabila dalam hal seseorang yang berdasarkan sistem hukum acara pidana telah ditetapkan sebagai terdakwa, berlaku pula asas praduga tidak bersalah terhadapnya.

Perlindungan hak asasi setiap manusia dijamin oleh beberapa pasal di dalam UUD 1945. Dengan demikian para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya harus sangat berhati-hati. Berhati-hati di sini maksudnya adalah para penegak hukum harus melaksanakan tugasnya dengan menyandarkan kegiatannya tersebut kepada peraturan perundang-undangan. Lebih spesifik adalah dengan mengacu kepada Undang-Undang (selanjutnya disebut “UU”). Beberapa pasal di dalam UUD 1945 yang mengatur mengenai hal tersebut, antara lain:

Pasal 28D ayat (1): 
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Pasal 28I ayat (5):
Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 28J ayat (2): 
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Beberapa pasal di dalam UUD 1945 tersebut di atas menggambarkan bahwa Negara dalam hal ini melalui produk-produk hukumnya bermaksud untuk melindungi hak bagi para rakyatnya. Sehingga Negara tidak dapat dengan atas nama kekuasaannya untuk bertindak sewenang-wenang kepada para rakyatnya.

Praperadilan merupakan suatu instrumen di dalam rangkaian hukum acara pidana yang berfungsi sebagai upaya evaluasi terhadap penggunaan kewenangan oleh para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya (dalam hal ini adalah Kepolisian dan/atau Kejaksaan).  

Pasal 1 angka 10 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya “Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP”), menyebutkan:
Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini, tentang:
a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan.

Berdasarkan pasal tersebut di atas, didapatkan beberapa kewenangan Praperadilan yang diatur oleh KUHAP, yaitu:
1. Memeriksa sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan;
2. Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
3. Menetapkan ganti kerugian atau rehabilitasi yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan.


Praperadilan diatur di dalam KUHAP pada Pasal 77 sampai dengan Pasal 83. Selain itu di luar KUHAP, peraturan terkait Praperadilan juga terdapat di dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut “UU Kekuasaan Kehakiman”) pada Pasal 9 ayat (1), (2), dan (3), yaitu:

(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.

(2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi, dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam undang-undang.

Sebagaimana ilmu pengetahuan pada umumnya, ilmu hukum berikut dengan praktiknya senantiasa berkembang di dalam masyarakat. Perkembangan tersebut juga menyentuh konsep Praperadilan yang berlaku dan mengikat masyarakat di Indonesia.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut “MK”) No. 21/PUU-XII/2014 yang diucapkan dalam Sidang Pleno MK terbuka untuk umum pada tanggal 28 April 2015. Telah diubah beberapa ketentuan mengenai Praperadilan yang diatur di dalam KUHAP, yaitu:
1. Mengubah frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, sehingga selanjutnya harus dimaknai “minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP”.
2. Menyatakan Pasal 77 huruf a KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

Mengacu kepada Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 tersebut, maka dengan begitu kewenangan Praperadilan yang diatur di dalam KUHAP menjadi sebagai berikut:
1. Memeriksa sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan;
2. Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
3. Menetapkan ganti kerugian atau rehabilitasi yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan.

Dalil pemohon pada Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 tersebut, pada prinsipnya adalah penjabaran yang cukup luas mengenai pentingnya melindungi hak asasi yang dimiliki setiap manusia yang salah satu upaya pengejawantahannya adalah melalui proses legislasi atau pembentukan peraturan perundang-undangan.

Hasil dari Praperadilan adalah putusan hakim yang menentukan dalil pemohon Praperadilan dapat diterima atau tidak dan memberikan keputusan atas dalil tersebut. Adapun KUHAP telah membatasi bahwa dalam memeriksa permohonan Praperadilan tersebut dalam kurun waktu paling lambat 7 (tujuh) hari (vide Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP), hakim harus sudah menjatuhkan putusannya apakah permohonan Praperadilan dikabulkan atau ditolak.

Putusan Praperadilan pada suatu tingkat tertentu, tidak menutup kemungkinan untuk diajukan lagi permohonan Praperadilan pada tingkatan lainnya. Misalnya apabila seorang tersangka tindak pidana sudah mengajukan permohonan Praperadilan atas penetapan dirinya sebagai tersangka pada tingkat penyidikan, namun permohonan tersebut ditolak. Ia dapat mengajukan lagi permohonan Praperadilan atas perintah penahanan lanjutan pada tahap penuntutan. Hal yang demikian diatur di dalam Pasal 82 ayat (1) huruf e KUHAP. 


Perkembangan pengaturan mengenai Praperadilan ini juga menyangkut mengenai akibat dari putusan Praperadilan. Jika sebelumnya terhadap putusan Praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan permohonan banding kepada Pengadilan Tinggi. Namun dengan adanya Putusan MK No. 65/PUU-IX/2011 yang diucapkan dalam Sidang Pleno MK terbuka untuk umum pada tanggal 01 Mei 2012 menyatakan bahwa Pasal 83 ayat (2) KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dengan demikian apabila suatu putusan Praperadilan menetapkan bahwa suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dilaksanakan dengan tidak sah, maka terdapat putusan Praperadilan tersebut tidak dapat dimintakan banding kepada Pengadilan Tinggi. Artinya terhadap putusan Praperadilan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.

Hal lain yang cukup penting terkait dengan proses Praperadilan adalah apabila pemeriksaan atas permohonan Praperadilan sedang dijalankan, namun pemeriksaan atas perkara (perkara pokoknya) tersebut sudah dimulai, maka terhadap permohonan Praperadilan tersebut akan gugur, sebagaimana diatur di dalam Padal 82 ayat (1) huruf d:
Dalam hal suatu perkara sudah dimulai. Diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada Praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.


Berdasarkan uraian tersebut di atas, Praperadilan diharapkan dapat menjadi penyeimbang bagi kepentingan pihak yang dikenakan upaya paksa oleh karena suatu proses hukum. Sehingga tidak serta merta orang tersebut kehilangan hak-hak yang dijamin oleh peraturan perundang-undangan. Sesungguhnya hal itu merupakan salah satu bentuk tujuan hukum yaitu keadilan dan kepastian hukum.


Sumber:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana);
3. UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
4. Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014
5. Putusan MK No. 65/PUU-IX/2011

Segala kritik, saran, pendapat, maupun pertanyaan silahkan disampaikan melalui email: ardy.wirawan92@gmail.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar