Setiap manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa, memiliki harkat dan martabat yang harus dijunjung tinggi dan dihormati.
Hal tersebut sejalan dengan amanat Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut “UUD 1945”), yang
berbunyi:
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Bertalian dengan landasan tersebut, terdapat
juga asas yang sangat mendasar dalam ilmu hukum yaitu presumption of innocent atau biasa diartikan ke dalam Bahasa
Indonesia dengan istilah asas praduga tidak bersalah. Maksud dari asas ini
adalah bahwa setiap orang tidak boleh dianggap bersalah melakukan suatu tindak
pidana sebelum ada suatu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Misalnya,
walaupun seseorang oleh karena suatu rangkaian penyelidikan dan penyidikan
telah ditetapkan sebagai tersangka, terhadap orang tersebut tidak boleh
dianggap bahwa ia adalah orang yang bertanggungjawab terhadap persangkaan
tindak pidana yang ditujukan kepadanya, sebelum adanya suatu putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap. Begitu pula apabila dalam hal seseorang yang berdasarkan
sistem hukum acara pidana telah ditetapkan sebagai terdakwa, berlaku pula asas praduga
tidak bersalah terhadapnya.
Perlindungan hak asasi setiap manusia dijamin
oleh beberapa pasal di dalam UUD 1945. Dengan demikian para penegak hukum dalam
melaksanakan tugasnya harus sangat berhati-hati. Berhati-hati di sini maksudnya
adalah para penegak hukum harus melaksanakan tugasnya dengan menyandarkan
kegiatannya tersebut kepada peraturan perundang-undangan. Lebih spesifik adalah
dengan mengacu kepada Undang-Undang (selanjutnya disebut “UU”). Beberapa pasal
di dalam UUD 1945 yang mengatur mengenai hal tersebut, antara lain:
Pasal 28D ayat (1):
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum.
Pasal 28I ayat (5):
Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi
manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan
hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan.
Pasal 28J ayat (2):
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.
Beberapa pasal di dalam UUD 1945 tersebut di
atas menggambarkan bahwa Negara dalam hal ini melalui produk-produk hukumnya
bermaksud untuk melindungi hak bagi para rakyatnya. Sehingga Negara tidak dapat
dengan atas nama kekuasaannya untuk bertindak sewenang-wenang kepada para
rakyatnya.
Praperadilan merupakan suatu instrumen di dalam
rangkaian hukum acara pidana yang berfungsi sebagai upaya evaluasi terhadap
penggunaan kewenangan oleh para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya (dalam
hal ini adalah Kepolisian dan/atau Kejaksaan).
Pasal 1 angka 10 UU No. 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (selanjutnya “Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP”),
menyebutkan:
Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini, tentang:
a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan.
Berdasarkan pasal tersebut di atas, didapatkan beberapa
kewenangan Praperadilan yang diatur oleh KUHAP, yaitu:
1. Memeriksa sah atau tidaknya penangkapan atau
penahanan;
2. Memeriksa sah atau tidaknya penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan;
3. Menetapkan ganti kerugian atau rehabilitasi yang
perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan.
Praperadilan diatur di dalam KUHAP pada Pasal 77
sampai dengan Pasal 83. Selain itu di luar KUHAP, peraturan terkait
Praperadilan juga terdapat di dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (selanjutnya disebut “UU Kekuasaan Kehakiman”) pada Pasal 9 ayat (1),
(2), dan (3), yaitu:
(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa
alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.
(2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Ketentuan mengenai tata cara penuntutan
ganti kerugian, rehabilitasi, dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam
undang-undang.
Sebagaimana ilmu pengetahuan pada umumnya, ilmu
hukum berikut dengan praktiknya senantiasa berkembang di dalam masyarakat.
Perkembangan tersebut juga menyentuh konsep Praperadilan yang berlaku dan
mengikat masyarakat di Indonesia.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
(selanjutnya disebut “MK”) No. 21/PUU-XII/2014 yang diucapkan dalam Sidang
Pleno MK terbuka untuk umum pada tanggal 28 April 2015. Telah diubah beberapa ketentuan
mengenai Praperadilan yang diatur di dalam KUHAP, yaitu:
1. Mengubah frasa “bukti permulaan”, “bukti
permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana diatur di dalam Pasal
1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, sehingga selanjutnya harus
dimaknai “minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP”.
2. Menyatakan Pasal 77 huruf a KUHAP tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan
tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Mengacu kepada Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014
tersebut, maka dengan begitu kewenangan Praperadilan yang diatur di dalam KUHAP
menjadi sebagai berikut:
1. Memeriksa sah atau tidaknya penetapan tersangka,
penggeledahan, penangkapan, dan penahanan;
2. Memeriksa sah atau tidaknya penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan;
3. Menetapkan ganti kerugian atau rehabilitasi yang
perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan.
Dalil pemohon pada Putusan MK No.
21/PUU-XII/2014 tersebut, pada prinsipnya adalah penjabaran yang cukup luas
mengenai pentingnya melindungi hak asasi yang dimiliki setiap manusia yang
salah satu upaya pengejawantahannya adalah melalui proses legislasi atau
pembentukan peraturan perundang-undangan.
Hasil dari Praperadilan adalah putusan hakim
yang menentukan dalil pemohon Praperadilan dapat diterima atau tidak dan
memberikan keputusan atas dalil tersebut. Adapun KUHAP telah membatasi bahwa
dalam memeriksa permohonan Praperadilan tersebut dalam kurun waktu paling
lambat 7 (tujuh) hari (vide Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP), hakim harus sudah
menjatuhkan putusannya apakah permohonan Praperadilan dikabulkan atau ditolak.
Putusan Praperadilan pada suatu tingkat
tertentu, tidak menutup kemungkinan untuk diajukan lagi permohonan Praperadilan
pada tingkatan lainnya. Misalnya apabila seorang tersangka tindak pidana sudah
mengajukan permohonan Praperadilan atas penetapan dirinya sebagai tersangka
pada tingkat penyidikan, namun permohonan tersebut ditolak. Ia dapat mengajukan
lagi permohonan Praperadilan atas perintah penahanan lanjutan pada tahap
penuntutan. Hal yang demikian diatur di dalam Pasal 82 ayat (1) huruf e KUHAP.
Perkembangan pengaturan mengenai Praperadilan
ini juga menyangkut mengenai akibat dari putusan Praperadilan. Jika sebelumnya
terhadap putusan Praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian
penyidikan atau penuntutan dapat diajukan permohonan banding kepada Pengadilan
Tinggi. Namun dengan adanya Putusan MK No. 65/PUU-IX/2011 yang diucapkan dalam
Sidang Pleno MK terbuka untuk umum pada tanggal 01 Mei 2012 menyatakan bahwa
Pasal 83 ayat (2) KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dengan demikian apabila suatu putusan
Praperadilan menetapkan bahwa suatu penghentian penyidikan atau penuntutan
dilaksanakan dengan tidak sah, maka terdapat putusan Praperadilan tersebut
tidak dapat dimintakan banding kepada Pengadilan Tinggi. Artinya terhadap putusan
Praperadilan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
Hal lain yang cukup penting terkait dengan
proses Praperadilan adalah apabila pemeriksaan atas permohonan Praperadilan
sedang dijalankan, namun pemeriksaan atas perkara (perkara pokoknya) tersebut
sudah dimulai, maka terhadap permohonan Praperadilan tersebut akan gugur,
sebagaimana diatur di dalam Padal 82 ayat (1) huruf d:
Dalam hal suatu perkara sudah dimulai. Diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada Praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.
Berdasarkan uraian tersebut di atas,
Praperadilan diharapkan dapat menjadi penyeimbang bagi kepentingan pihak yang dikenakan
upaya paksa oleh karena suatu proses hukum. Sehingga tidak serta merta orang
tersebut kehilangan hak-hak yang dijamin oleh peraturan perundang-undangan. Sesungguhnya
hal itu merupakan salah satu bentuk tujuan hukum yaitu keadilan dan kepastian
hukum.
Sumber:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana);
3. UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
4. Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014
5. Putusan MK No. 65/PUU-IX/2011
Segala kritik, saran, pendapat, maupun pertanyaan silahkan disampaikan melalui email: ardy.wirawan92@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar