Pada era pembangunan global saat ini, kebutuhan
tenaga kerja menjadi suatu komponen keharusan agar dapat terselenggaranya
pembangunan global yang berkualitas.
Indonesia yang memiliki jumlah penduduk sekitar 237.641.326 jiwa (berdasarkan informasi Sensus Penduduk Badan
Pusat Statistik), merupakan salah satu negara yang memiliki andil besar
dalam pembangunan global tersebut.
Kondisi di atas mengharuskan Pemerintah dalam
kapasitas mengelola dan mengayomi masyarakatnya dalam bidang ketenagakerjaan
untuk membuat regulasi yang baik dan dapat mengakomodir kebutuhan dari berbagai
pihak. Salah satu implementasi dari hal tersebut adalah Pemerintah bersama
dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), telah membuat dan mengesahkan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut
“UU Ketenagakerjaan”).
UU Ketenagakerjaan mengatur secara luas berbagai
aspek yang berkaitan dengan kebutuhan dan dinamika ketenagakerjaan. Adapun
salah satu aspek yang terpenting dalam bidang ketenagakerjaan adalah konsep
hubungan kerja antara pemberi kerja dan tenaga kerja itu sendiri.
Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan menetapkan definisi
mengenai hubungan kerja, yaitu:
"Hubungan
kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan
perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.”
Berdasarkan isi pasal tersebut, maka dapat diketahui
bahwa unsur yang terkandung dalam suatu hubungan kerja, yaitu:
1. Pengusaha (pemberi kerja);2. Pekerja/buruh (penerima kerja);
3. Pekerjaan tertentu;
4. Upah; dan
5. Perintah.
Pengaturan mengenai hubungan kerja ini diatur
secara lengkap pada bab tersendiri di dalam UU Ketenagakerjaan, yaitu pada BAB
IX mengenai Hubungan Kerja, mulai dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 66.
Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan menyebutkan
bahwa hubungan kerja dilaksanakan berdasarkan perjanjian kerja, hal tersebut
sejalan juga dengan Pasal 50 UU Ketenagakerjaan yang berisi “Hubungan kerja terjadi karena adanya
perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh.” Namun adanya
perjanjian kerja tersebut tidak harus dibuat secara tertulis saja, melainkan
dapat dibuat secara lisan antara pengusaha dan pekerja/buruh. (vide Pasal 51 UU
Ketenagakerjaan)
Kebolehan suatu perjanjian kerja dibuat secara
lisan sama dengan konsep perjanjian pada umumnya dalam hukum perdata. Hubungan
yang terjalin antara pengusaha dan pekerja/buruh pada pokoknya merupakan adopsi
dari konsep hukum perdata secara umum. Salah satu contoh lain yang membuktikan
hal tersebut adalah ketentuan dalam Pasal 52 ayat (1), (2), dan (3) UU
Ketenagakerjaan yang berisi:
"(1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar:
a. Kesepakatan kedua belah pihak;
b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan;
d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan dan peraturan perundang-undangan
(2) Perjanjian kerja yang dibuat para pihak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan.
(3) Perjanjian kerja yang dbuat para pihak yang bertentanga dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum."
Konsepsi mengenai perjanjian kerja di dalam UU
Ketenagakerjaan berikut dengan akibat hukumnya apabila tidak terpenuhinya
syarat-syarat yang ditentukan atasnya, sama dengan konsep perjanjian secara
umum yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) pada
Pasal 1320.
Hal yang harus dipahami selanjutnya mengenai hal
ketidakadaan perjanjian kerja secara tertulis ini adalah status hubungan kerja
antara pengusaha dan pekerja/buruh. Sebagaimana diketahui di dalam UU
Ketenagakerjaan dikenal 2 jenis hubungan kerja, yaitu Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (selanjutnya disebut “PKWT”) atau yang biasa diketahui sebagai status
karyawan kontrak dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (selanjutnya disebut
“PKWTT”) atau yang biasa diketahui sebagai status karyawan tetap. Menentukan
konsekuensi ketidakadaan perjanjian kerja secara tertulis menjadi penting karena
hak yang timbul dari kedua jenis hubungan kerja tersebut berbeda.
Jika ditinjau dari salah satu ketentuan mengenai
PKWT terkait dengan ada atau tidaknya perjanjian kerja tertulis, Pasal 57 UU
Ketenagakerjaan menyatakan sebagai berikut:
Ayat (1):
"Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis
serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.”
Ayat (2):
“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis
bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan
sebagai perjanjian kerja untuk waktu tudak tertentu.”
Pada Pasal 57 ayat (1) dijelaskan bahwa suatu PKWT
dibuat harus dalam bentuk tertulis, kemudian pada ayat (2) diterangkan mengenai
konsekuensi apabila PKWT dibuat tidak dalam bentuk tertulis. Dengan demikian
suatu hubungan kerja yang dilandaskan kepada perjanjian kerja yang hanya
berbentuk lisan saja maka secara hukum hubungan kerja yang terjadi di antara
pengusaha dan pekerja/buruh menjadi PKWTT.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat
diambil kesimpulan bahwa hubungan kerja yang didasarkan hanya dengan perjanjian
kerja secara lisan saja tanpa dibuat perjanjian kerja secara tertulis, maka
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan status hubungan kerja
tersebut adalah PKWTT atau yang biasa diketahui sebagai status karyawan tetap.
Sumber:
1. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia
3. https://www.bps.go.id/
Segala kritik, saran, pendapat, maupun pertanyaan silahkan disampaikan melalui email: ardy.wirawan92@gmail.com
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapuspakah ini berarti bahwa hak dan kewajiban karyawan PKWTT bisa diubah setiap saat oleh boss perusahaan tanpa karyawan mempunyai bukti tertulis untuk menuntut perjanjian awal, sehingga posisinya sangat lemah
BalasHapus