Selasa, 06 September 2016

Bekerja Tanpa Perjanjian Kerja Tertulis

Pada era pembangunan global saat ini, kebutuhan tenaga kerja menjadi suatu komponen keharusan agar dapat terselenggaranya pembangunan global yang berkualitas.

Indonesia yang memiliki jumlah penduduk sekitar 237.641.326 jiwa (berdasarkan informasi Sensus Penduduk Badan Pusat Statistik), merupakan salah satu negara yang memiliki andil besar dalam pembangunan global tersebut.

Kondisi di atas mengharuskan Pemerintah dalam kapasitas mengelola dan mengayomi masyarakatnya dalam bidang ketenagakerjaan untuk membuat regulasi yang baik dan dapat mengakomodir kebutuhan dari berbagai pihak. Salah satu implementasi dari hal tersebut adalah Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), telah membuat dan mengesahkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut “UU Ketenagakerjaan”).

UU Ketenagakerjaan mengatur secara luas berbagai aspek yang berkaitan dengan kebutuhan dan dinamika ketenagakerjaan. Adapun salah satu aspek yang terpenting dalam bidang ketenagakerjaan adalah konsep hubungan kerja antara pemberi kerja dan tenaga kerja itu sendiri.

Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan menetapkan definisi mengenai hubungan kerja, yaitu:
"Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.” 
Berdasarkan isi pasal tersebut, maka dapat diketahui bahwa unsur yang terkandung dalam suatu hubungan kerja, yaitu:
1. Pengusaha (pemberi kerja);
2. Pekerja/buruh (penerima kerja);
3. Pekerjaan tertentu;
4. Upah; dan
5. Perintah.

Pengaturan mengenai hubungan kerja ini diatur secara lengkap pada bab tersendiri di dalam UU Ketenagakerjaan, yaitu pada BAB IX mengenai Hubungan Kerja, mulai dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 66.

Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa hubungan kerja dilaksanakan berdasarkan perjanjian kerja, hal tersebut sejalan juga dengan Pasal 50 UU Ketenagakerjaan yang berisi “Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh.” Namun adanya perjanjian kerja tersebut tidak harus dibuat secara tertulis saja, melainkan dapat dibuat secara lisan antara pengusaha dan pekerja/buruh. (vide Pasal 51 UU Ketenagakerjaan)

Kebolehan suatu perjanjian kerja dibuat secara lisan sama dengan konsep perjanjian pada umumnya dalam hukum perdata. Hubungan yang terjalin antara pengusaha dan pekerja/buruh pada pokoknya merupakan adopsi dari konsep hukum perdata secara umum. Salah satu contoh lain yang membuktikan hal tersebut adalah ketentuan dalam Pasal 52 ayat (1), (2), dan (3) UU Ketenagakerjaan yang berisi:
"(1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar:
      a. Kesepakatan kedua belah pihak;
      b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
      c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan;
      d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
          kesusilaan dan peraturan perundang-undangan
 (2) Perjanjian kerja yang dibuat para pihak yang bertentangan dengan ketentuan
      sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan.
 (3) Perjanjian kerja yang dbuat para pihak yang bertentanga dengan ketentuan
      sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum."

Konsepsi mengenai perjanjian kerja di dalam UU Ketenagakerjaan berikut dengan akibat hukumnya apabila tidak terpenuhinya syarat-syarat yang ditentukan atasnya, sama dengan konsep perjanjian secara umum yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) pada Pasal 1320.

Hal yang harus dipahami selanjutnya mengenai hal ketidakadaan perjanjian kerja secara tertulis ini adalah status hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Sebagaimana diketahui di dalam UU Ketenagakerjaan dikenal 2 jenis hubungan kerja, yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (selanjutnya disebut “PKWT”) atau yang biasa diketahui sebagai status karyawan kontrak dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (selanjutnya disebut “PKWTT”) atau yang biasa diketahui sebagai status karyawan tetap. Menentukan konsekuensi ketidakadaan perjanjian kerja secara tertulis menjadi penting karena hak yang timbul dari kedua jenis hubungan kerja tersebut berbeda.

Jika ditinjau dari salah satu ketentuan mengenai PKWT terkait dengan ada atau tidaknya perjanjian kerja tertulis, Pasal 57 UU Ketenagakerjaan menyatakan sebagai berikut:
Ayat (1):
"Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.”
Ayat (2):
“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tudak tertentu.”

Pada Pasal 57 ayat (1) dijelaskan bahwa suatu PKWT dibuat harus dalam bentuk tertulis, kemudian pada ayat (2) diterangkan mengenai konsekuensi apabila PKWT dibuat tidak dalam bentuk tertulis. Dengan demikian suatu hubungan kerja yang dilandaskan kepada perjanjian kerja yang hanya berbentuk lisan saja maka secara hukum hubungan kerja yang terjadi di antara pengusaha dan pekerja/buruh menjadi PKWTT.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa hubungan kerja yang didasarkan hanya dengan perjanjian kerja secara lisan saja tanpa dibuat perjanjian kerja secara tertulis, maka berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan status hubungan kerja tersebut adalah PKWTT atau yang biasa diketahui sebagai status karyawan tetap.


Sumber:
1. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia
3. https://www.bps.go.id/


Segala kritik, saran, pendapat, maupun pertanyaan silahkan disampaikan melalui email: ardy.wirawan92@gmail.com

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. pakah ini berarti bahwa hak dan kewajiban karyawan PKWTT bisa diubah setiap saat oleh boss perusahaan tanpa karyawan mempunyai bukti tertulis untuk menuntut perjanjian awal, sehingga posisinya sangat lemah

    BalasHapus